Pertunangan
hanya sebatas perjanjian untuk nantinya menuju jenjang pernikahan dan
pertunangan bukanlah sebuah pernikahan. Artinya, masing-masing pihak berhak
untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah
pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta
sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang
diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Pertunangan
bertujuan agar masing-masing menguji cinta kasihnya menuju cinta kasih yang
murni sebagai dasar perkawinan. Masing-masing supaya saling belajar memahami
kepribadian tunangannya, supaya kelak dalam pernikahan bisa saling menerima dan
saling melayani
Bertunangan adalah salah
satu langkah menuju ke jenjang pernikahan. Namun, bagaimana jika hubungan itu
tak bisa berlanjut karena Anda bertengkar terus, Anda tak pernah setuju lagi
tentang sesuatu, dan saat Anda tak bersama tunangan Anda, tak ada rasa
kehilangan sedikitpun.
Salah satu cara agar
huungan ini tak saling menyakiti maka jalan keluarnya adalah memutuskan
pertunangan itu. Nah, berikut cara memutuskan pertunangan tanpa meninggalkan
rasa sakit hati.
*Jujur
Ini bukan saatnya untuk
berbohong mengapa Anda harus berpisah. Mungkin ini sangat aneh namun
kemungkinan pasangan Anda sudah tahu. Komunikasikan alasan mengapa Anda
berpisah dan sebutkan semua pertengkaran tersebut.
*Hindari klise
Jangan ucapkan kata-kata
klise seperti," kita tetap berteman,"," ini bukan tentang kamu
namun tentang saya,". Ini tak akan menyelesaikan masalah. Anda katakan
sejujurnya mengapa Anda harus mengakhiri pertunangan tanpa terkesan klise.
*Lakukan itu secara
pribadi
Percakapan ini harus
dilakukan antara Anda berdua. Memutuskan pertunangan dan memberitahukannya
adalah salah satu percakapan yang paling menimbulkan trauma. Pilih tempat yang
aman, Anda berdua, dan jangan lupa waktu yang tepat
*Bersikap manis
Ingat, bersikap manis
apapun yang terjadi di antara Anda berdua. Ini akan sangat sulit. Tak perlu
membawa dan mengutuk tindakan di masa lalu. Jangan ungkit masa lalu dan
kesalahan-kesalahan. Yang penting bersikap manis.
*Kembalikan cincin
pertunangan
Jika Anda yang memutuskan
pertunangan maka Anda harus mengembalikan cincin itu karena harganya
mahal.Inilah konsekuensinya.
.
Menurut Konsultan Monty Satiadarma, pernikahan adalah kesepakatan dua
belah pihak. Jika salah satu pihak tidak bersepakat, kapan pun bisa dibatalkan
atau ditunda. Memaksakan untuk melangsungkan suatu pernikahan dengan
dilatarbelakangi konflik pun tidak akan menimbulkan kebahagiaan. Adakalanya
Anda dan kakak Anda harus belajar kecewa dan berupaya mengatasi kemarahan,
walau hal tersebut bukan langkah yang mudah. Namun, adakalanya Anda tidak bisa
memaksakan kehendak. Sikap pria itu yang memutuskan hubungan mendadak
memberikan indikasi bahwa ia memang bukan orang yang layak untuk mendampingi
kakak Anda dalam meniti kehidupannya. Apalagi jika menurut Anda hal tersebut
sepele dan ia dengan mudahnya membatalkan berbagai rencana tersebut. Sikap
seperti ini besar kemungkinan akan berlanjut di kemudian hari, sekiranya
pernikahan tetap dilangsungkan.
Jadi, justru alangkah lebih baik jika dibatalkan, walaupun dengan pengorbanan
finansial karena harus membayar denda atas gedung yang sudah dipesan. Lebih
baik mengorbankan finansial sesaat, daripada mengorbankan kehidupan di masa
depan. Menurut hemat saya, memang pernikahan tersebut tidak perlu dilangsungkan
dan hubungan tersebut juga tidak layak untuk diteruskan.
Sedangkan menurut Konsultan Irma Makarim, Anda perlu menyadari bahwa
sebuah hubungan kasih hanya bisa berlanjut apabila memang kedua belah pihak
menginginkannya. Bila yang satu sudah tak lagi merasakan hal itu, maka kurang
bijaksana bagi pasangannya untuk memaksakan hubungan ini. Bukankah lebih baik
berpisah sekarang, daripada setelah menikah?
Tentunya kakak Anda merasakan kesedihan yang mendalam dengan apa yang
dialaminya. Dapat dimengerti bila keluarga juga ikut tersinggung, apalagi
perkawinan sudah di ambang pintu. Sulit dimengeri bahwa kemanjaan seseorang
bisa menjadi alasan untuk membatalkan sebuah pertunangan. Bukankah dia sudah
mengenal kakak Anda sebelumnya? Tidak penting bila kekasih kakak mempunyai
alasan lainnya, karena bisa saja dia meninggalkan pasangan sewaktu-waktu. Untuk
apa hidup bersama pasangan yang sukar diandalkan?
Saat
ini yang bisa Anda lakukan adalah membantu kakak untuk bangkit kembali sehingga
tidak terus terperangkap dalam duka yang berkepanjangan. Beri dia harapan untuk
mendapatkan pasangan yang lebih baik. Memang saat ini terasa menyakitkan,
tetapi kakak Anda bisa melihat kualitas kekasih yang sebenarnya. Bisa jadi di
kemudian hari kakak Anda akan mensyukuri kejadian ini.
Assalamu'alaikum..
Ustadz, ana udah bertunangan dengan seorang laki-laki, tapi tiba-tiba karena
alasan tertentu, ana jadi kurang cocok dengan dia dan ana ingin berpisah dengan
dia. Tapi ana takut. Apakah boleh membatalkan tunangan? Lalu apa HUKUM TUNANGAN
dalam Islam?
(Fulanah)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh Alhamdulillah, ‘alaa kul
li haal. Ukhti yang saya hormati. Bolehkah membatalkan
pertunangan? Ini pertanyaan menarik. Karena pertanyaan ini berpangkal dari
simpul persoalan makna “pertunangan” yang membawahi beberapa telaah fikih yang tidak
sederhana. Bila kita mau jujur, makna pertunangan itu adalah budaya baru yang
dikembangkan oleh masyarakat modern.Tapi, yang harus dijelaskan di sini, karena
ia hanya sebagai kebiasaan, maka pertunangan tidak memiliki dasar hukum khusus
seperti halnya lamaran atau akad pernikahan. Karena tak memiliki dasar khusus,
maka tidak boleh seseorang menjadikan pertunangan ini sebagai ikatan. Karena
ikatan itu hanya berlaku dengan akad pernikahan, dan itu hukum baku yang tak
dapat diubah. Maka bila seseorang melakukan pertunangan atau “menunangkan”
putrinya dengan pria tertentu misalnya, sifatnya tidak boleh dijadikan
perjanjian yang mengikat. Keduanya hanya boleh diibaratkan sebagai “janji
keinginan” untuk saling menikahi. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya
berniat menikahkan putra saya dengan putrimu,” lalu yang diajak bicara menjawab,
“Saya juga berniat demikian, kira-kira dua tahun lagi…”
Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya tiba-tiba
menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum mau
menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian
tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain. Artinya, di
awal pertunangan tersebut memang harus disepakati bahwa pertunangan itu
hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang mengikat, di mana salah
seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak, harus dengan kesepakatan
kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama saja mengganti syariat
akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka pertunangan bisa menjadi
bid’ah yang diHARAMKAN. Kenapa bid’ah? Karena definisi bid’ah yaitu:“Sebuah
metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk
syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah,
atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”Sementara perbuatan bid’ah itu
haram dalam Islam:“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap
ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44,
dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan
bentuk yang paling mendekatinya, barangkali yang paling mendekati adalah
khitbah, yang artinya meminang. Tetapi tetap saja ada perbedaan asasi antara
tunangan dengan khitbah. Paling tidak dari segi aturan pergaulannya. Sebab
masyarakat kita biasanya menganggap bahwa pertunangan yang telah terjadi antara
sepasang calon pengantin sudah setengah dari menikah. Sehingga seakan ada hukum
tidak tertulis bahwa yang sudah bertunangan itu boleh berduaan, berkhalwat
berduaan, naik motor berboncengan, makan bersama, jalan-jalan, nonton dan
bahkan sampai menginap. Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari
pihak calon suami kepada wali calon istri yang intinya mengajak untuk berumah
tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab iya atau tidak. Bila telah
dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai 'makhthubah', atau wanita yang
telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima
lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai
orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.Dalam
Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat
besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah
bertunagan atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal
melakukan hal-hal layaknya suami istri di depan mata, lantas diam dan
membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka
sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus
bertanggung-jawab." Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap
terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar,
hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang
tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang
tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran
yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi
semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.Sayangnya
banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara
pertunangan, acara besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru
dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya diluar Islam lainnya.Dan
bagaimana hukum bertukar cincin saat bertunangan?
Seperti cincin biasa, hanya saja diiringi suatu kepercayaan sebagaimana
diyakini oleh sebagian orang, dengan menuliskan namanya di cincin yang akan
diberikan kepada tunangan wanitanya, sedangkan yang wanita menuliskan namanya
di cincin yang akan diberikan kepada lelaki yang akan melamarnya, dengan
keyakinan bahwa hal tersebut bisa mempererat tali ikatan antara keduanya. Dalam
keadaan seperti ini, hukum memakai cincin tunangan adalah haram, karena
berhubungan dengan keyakinan yang tidak ada dasarnya. Juga tidak diperbolehkan
bagi lelaki untuk memakaikan cincin tersebut untuk tunangannya, karena belum
menjadi istrinya, dan dinyatakan sah menjadi istrinya setelah akad nikah.
[Fatawa Lil Fatayat Faqoth, hal 47] Dalam
acara seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta
aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu
pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan
badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat, pembicaraan
lewat telefon ataupun saling bertemu, menghalalkan panggilan mesra seperti
'SAYANG','CINTA','ISTRIKU','SUAMIKU', Dsb yang sepantasnya diucapkan kepada
pasangan halalnya dan hal ini diperbolehkan karena mereka telah bertunangan.
Itulah adalah sebuah kesalahan besar dan mengakibatkan dosa. Dalam Islam
hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan perempuan
dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun fisik adalah
melalui pernikahan.
Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang membutuhkan
pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya. Diantara
naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup dan untuk
itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja. Setiap muslim
harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan menjadi budak
manusia atau budak nafsu.
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka boleh-boleh saja ukhti membatalkan
pertunangan tersebut, bila di tengah perjalanan ukhti menganggap tidak ada
kecocokan di antara kalian berdua. Karena kalian berdua memang tidak berada
dalam ikatan apa-apa, hanya ada dalam lingkaran “rencana”. Akan tetapi, bila
rencana itu dahulu dibicarakan antara orang tua, maka saat membatalkan, demi
hukum kemaslahatan, sebaiknya ukhti juga melibatkan orang tua untuk menyampaikan
niat membatalkan tersebut. Karena bila tidak, dalam kehidupan rumah tangga pun
konflik bisa terjadi, tak boleh menjadi alasan untuk mudah meminta cerai. Itu
harus dicermati.
Selanjutnya, pada kebiasaan pertunangan yang ada di
masa modern ini –beda dengan perjodohan di masa lampau– banyak orang
beranggapan bahwa pertunangan itu sudah menjadi “semi pernikahan”, di mana
karena sudah bertunangan maka kedua calon pasangan itu boleh bepergian berdua
ke mana-mana tanpa disertai oleh mahram-nya, berduaan, berpacaran, saling
berpegangan, menjalin keakraban sedemikian rupa, saling bertemu atau ketemuan
dan lain sebagainya. Hal itu jelas berlawanan dengan aturan dalam Islam. Pria
dan wanita yang bertunangan belumlah halal untuk saling bersentuhan, bepergian tanpa
mahram, saling berjumpa atau berdua-duaan di satu tempat. Keduanya masih
dihitung sebagai orang lain. Sama dengan orang yang mengatakan, “Saya punya
keinginan untuk membeli mobil Anda,” maka itu bukanlah transaksi, meskipun si
pemilik mobil juga punya keinginan menjual mobilnya. Sehingga mobil itu belum
halal baginya. Soal hubungan pria wanita dalam Islam, jelas tak dapat
diserupakan dengan mobil dan calon pembelinya.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya salah seorang di
antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada
menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam
ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan
shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah
wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.
Kesimpulannya, saudari boleh saja memutuskan untuk membatalkan pertunangan.
Namun, karena semua itu dilakukan secara musyawarah, lakukanlah pembatalan itu
dengan musyawarah. Bicarakan apa yang menjadi keinginan saudari, mintalah
pendapat calon suami, calon mertua dan juga kedua orang tua atau bahkan juga
saudara-saudara yang ada. Setelah itu, tetapkanlah yang saudari anggap lebih
baik bagi masa depan saudari, calon suami yang bisa membimbing saudari ke jalan
Allah dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Bukan suami yang tidak bisa
membimbingmu ke jalan Allah, dan bukan pula suami yang membuatmu jauh dari
Allah dan menyimpang dari perintah Allah.