Pertunangan
hanya sebatas perjanjian untuk nantinya menuju jenjang pernikahan dan
pertunangan bukanlah sebuah pernikahan. Artinya, masing-masing pihak berhak
untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah
pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta
sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang
diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Pertunangan
bertujuan agar masing-masing menguji cinta kasihnya menuju cinta kasih yang
murni sebagai dasar perkawinan. Masing-masing supaya saling belajar memahami
kepribadian tunangannya, supaya kelak dalam pernikahan bisa saling menerima dan
saling melayani
Bertunangan adalah salah
satu langkah menuju ke jenjang pernikahan. Namun, bagaimana jika hubungan itu
tak bisa berlanjut karena Anda bertengkar terus, Anda tak pernah setuju lagi
tentang sesuatu, dan saat Anda tak bersama tunangan Anda, tak ada rasa
kehilangan sedikitpun.
Salah satu cara agar
huungan ini tak saling menyakiti maka jalan keluarnya adalah memutuskan
pertunangan itu. Nah, berikut cara memutuskan pertunangan tanpa meninggalkan
rasa sakit hati.
*Jujur
Ini bukan saatnya untuk
berbohong mengapa Anda harus berpisah. Mungkin ini sangat aneh namun
kemungkinan pasangan Anda sudah tahu. Komunikasikan alasan mengapa Anda
berpisah dan sebutkan semua pertengkaran tersebut.
*Hindari klise
Jangan ucapkan kata-kata
klise seperti," kita tetap berteman,"," ini bukan tentang kamu
namun tentang saya,". Ini tak akan menyelesaikan masalah. Anda katakan
sejujurnya mengapa Anda harus mengakhiri pertunangan tanpa terkesan klise.
*Lakukan itu secara
pribadi
Percakapan ini harus
dilakukan antara Anda berdua. Memutuskan pertunangan dan memberitahukannya
adalah salah satu percakapan yang paling menimbulkan trauma. Pilih tempat yang
aman, Anda berdua, dan jangan lupa waktu yang tepat
*Bersikap manis
Ingat, bersikap manis
apapun yang terjadi di antara Anda berdua. Ini akan sangat sulit. Tak perlu
membawa dan mengutuk tindakan di masa lalu. Jangan ungkit masa lalu dan
kesalahan-kesalahan. Yang penting bersikap manis.
*Kembalikan cincin
pertunangan
Jika Anda yang memutuskan
pertunangan maka Anda harus mengembalikan cincin itu karena harganya
mahal.Inilah konsekuensinya.
.
Menurut Konsultan Monty Satiadarma, pernikahan adalah kesepakatan dua
belah pihak. Jika salah satu pihak tidak bersepakat, kapan pun bisa dibatalkan
atau ditunda. Memaksakan untuk melangsungkan suatu pernikahan dengan
dilatarbelakangi konflik pun tidak akan menimbulkan kebahagiaan. Adakalanya
Anda dan kakak Anda harus belajar kecewa dan berupaya mengatasi kemarahan,
walau hal tersebut bukan langkah yang mudah. Namun, adakalanya Anda tidak bisa
memaksakan kehendak. Sikap pria itu yang memutuskan hubungan mendadak
memberikan indikasi bahwa ia memang bukan orang yang layak untuk mendampingi
kakak Anda dalam meniti kehidupannya. Apalagi jika menurut Anda hal tersebut
sepele dan ia dengan mudahnya membatalkan berbagai rencana tersebut. Sikap
seperti ini besar kemungkinan akan berlanjut di kemudian hari, sekiranya
pernikahan tetap dilangsungkan.
Jadi, justru alangkah lebih baik jika dibatalkan, walaupun dengan pengorbanan finansial karena harus membayar denda atas gedung yang sudah dipesan. Lebih baik mengorbankan finansial sesaat, daripada mengorbankan kehidupan di masa depan. Menurut hemat saya, memang pernikahan tersebut tidak perlu dilangsungkan dan hubungan tersebut juga tidak layak untuk diteruskan.
Jadi, justru alangkah lebih baik jika dibatalkan, walaupun dengan pengorbanan finansial karena harus membayar denda atas gedung yang sudah dipesan. Lebih baik mengorbankan finansial sesaat, daripada mengorbankan kehidupan di masa depan. Menurut hemat saya, memang pernikahan tersebut tidak perlu dilangsungkan dan hubungan tersebut juga tidak layak untuk diteruskan.
Sedangkan menurut Konsultan Irma Makarim, Anda perlu menyadari bahwa sebuah hubungan kasih hanya bisa berlanjut apabila memang kedua belah pihak menginginkannya. Bila yang satu sudah tak lagi merasakan hal itu, maka kurang bijaksana bagi pasangannya untuk memaksakan hubungan ini. Bukankah lebih baik berpisah sekarang, daripada setelah menikah?
Tentunya kakak Anda merasakan kesedihan yang mendalam dengan apa yang dialaminya. Dapat dimengerti bila keluarga juga ikut tersinggung, apalagi perkawinan sudah di ambang pintu. Sulit dimengeri bahwa kemanjaan seseorang bisa menjadi alasan untuk membatalkan sebuah pertunangan. Bukankah dia sudah mengenal kakak Anda sebelumnya? Tidak penting bila kekasih kakak mempunyai alasan lainnya, karena bisa saja dia meninggalkan pasangan sewaktu-waktu. Untuk apa hidup bersama pasangan yang sukar diandalkan?
Saat
ini yang bisa Anda lakukan adalah membantu kakak untuk bangkit kembali sehingga
tidak terus terperangkap dalam duka yang berkepanjangan. Beri dia harapan untuk
mendapatkan pasangan yang lebih baik. Memang saat ini terasa menyakitkan,
tetapi kakak Anda bisa melihat kualitas kekasih yang sebenarnya. Bisa jadi di
kemudian hari kakak Anda akan mensyukuri kejadian ini.
Assalamu'alaikum..
Ustadz, ana udah bertunangan dengan seorang laki-laki, tapi tiba-tiba karena alasan tertentu, ana jadi kurang cocok dengan dia dan ana ingin berpisah dengan dia. Tapi ana takut. Apakah boleh membatalkan tunangan? Lalu apa HUKUM TUNANGAN dalam Islam?
(Fulanah)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh Alhamdulillah, ‘alaa kul
Ustadz, ana udah bertunangan dengan seorang laki-laki, tapi tiba-tiba karena alasan tertentu, ana jadi kurang cocok dengan dia dan ana ingin berpisah dengan dia. Tapi ana takut. Apakah boleh membatalkan tunangan? Lalu apa HUKUM TUNANGAN dalam Islam?
(Fulanah)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh Alhamdulillah, ‘alaa kul
li haal. Ukhti yang saya hormati. Bolehkah membatalkan
pertunangan? Ini pertanyaan menarik. Karena pertanyaan ini berpangkal dari
simpul persoalan makna “pertunangan” yang membawahi beberapa telaah fikih yang tidak
sederhana. Bila kita mau jujur, makna pertunangan itu adalah budaya baru yang
dikembangkan oleh masyarakat modern.Tapi, yang harus dijelaskan di sini, karena
ia hanya sebagai kebiasaan, maka pertunangan tidak memiliki dasar hukum khusus
seperti halnya lamaran atau akad pernikahan. Karena tak memiliki dasar khusus,
maka tidak boleh seseorang menjadikan pertunangan ini sebagai ikatan. Karena
ikatan itu hanya berlaku dengan akad pernikahan, dan itu hukum baku yang tak
dapat diubah. Maka bila seseorang melakukan pertunangan atau “menunangkan”
putrinya dengan pria tertentu misalnya, sifatnya tidak boleh dijadikan
perjanjian yang mengikat. Keduanya hanya boleh diibaratkan sebagai “janji
keinginan” untuk saling menikahi. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya
berniat menikahkan putra saya dengan putrimu,” lalu yang diajak bicara menjawab,
“Saya juga berniat demikian, kira-kira dua tahun lagi…”
Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya tiba-tiba menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum mau menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain. Artinya, di awal pertunangan tersebut memang harus disepakati bahwa pertunangan itu hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang mengikat, di mana salah seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak, harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama saja mengganti syariat akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka pertunangan bisa menjadi bid’ah yang diHARAMKAN. Kenapa bid’ah? Karena definisi bid’ah yaitu:“Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”Sementara perbuatan bid’ah itu haram dalam Islam:“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan bentuk yang paling mendekatinya, barangkali yang paling mendekati adalah khitbah, yang artinya meminang. Tetapi tetap saja ada perbedaan asasi antara tunangan dengan khitbah. Paling tidak dari segi aturan pergaulannya. Sebab masyarakat kita biasanya menganggap bahwa pertunangan yang telah terjadi antara sepasang calon pengantin sudah setengah dari menikah. Sehingga seakan ada hukum tidak tertulis bahwa yang sudah bertunangan itu boleh berduaan, berkhalwat berduaan, naik motor berboncengan, makan bersama, jalan-jalan, nonton dan bahkan sampai menginap. Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari pihak calon suami kepada wali calon istri yang intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab iya atau tidak. Bila telah dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai 'makhthubah', atau wanita yang telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunagan atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus bertanggung-jawab." Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara pertunangan, acara besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya diluar Islam lainnya.Dan bagaimana hukum bertukar cincin saat bertunangan?
Seperti cincin biasa, hanya saja diiringi suatu kepercayaan sebagaimana diyakini oleh sebagian orang, dengan menuliskan namanya di cincin yang akan diberikan kepada tunangan wanitanya, sedangkan yang wanita menuliskan namanya di cincin yang akan diberikan kepada lelaki yang akan melamarnya, dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mempererat tali ikatan antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, hukum memakai cincin tunangan adalah haram, karena berhubungan dengan keyakinan yang tidak ada dasarnya. Juga tidak diperbolehkan bagi lelaki untuk memakaikan cincin tersebut untuk tunangannya, karena belum menjadi istrinya, dan dinyatakan sah menjadi istrinya setelah akad nikah. [Fatawa Lil Fatayat Faqoth, hal 47] Dalam acara seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat, pembicaraan lewat telefon ataupun saling bertemu, menghalalkan panggilan mesra seperti 'SAYANG','CINTA','ISTRIKU','SUAMIKU', Dsb yang sepantasnya diucapkan kepada pasangan halalnya dan hal ini diperbolehkan karena mereka telah bertunangan. Itulah adalah sebuah kesalahan besar dan mengakibatkan dosa. Dalam Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun fisik adalah melalui pernikahan.
Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya. Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja. Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka boleh-boleh saja ukhti membatalkan pertunangan tersebut, bila di tengah perjalanan ukhti menganggap tidak ada kecocokan di antara kalian berdua. Karena kalian berdua memang tidak berada dalam ikatan apa-apa, hanya ada dalam lingkaran “rencana”. Akan tetapi, bila rencana itu dahulu dibicarakan antara orang tua, maka saat membatalkan, demi hukum kemaslahatan, sebaiknya ukhti juga melibatkan orang tua untuk menyampaikan niat membatalkan tersebut. Karena bila tidak, dalam kehidupan rumah tangga pun konflik bisa terjadi, tak boleh menjadi alasan untuk mudah meminta cerai. Itu harus dicermati.
Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya tiba-tiba menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum mau menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain. Artinya, di awal pertunangan tersebut memang harus disepakati bahwa pertunangan itu hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang mengikat, di mana salah seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak, harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama saja mengganti syariat akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka pertunangan bisa menjadi bid’ah yang diHARAMKAN. Kenapa bid’ah? Karena definisi bid’ah yaitu:“Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”Sementara perbuatan bid’ah itu haram dalam Islam:“Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan bentuk yang paling mendekatinya, barangkali yang paling mendekati adalah khitbah, yang artinya meminang. Tetapi tetap saja ada perbedaan asasi antara tunangan dengan khitbah. Paling tidak dari segi aturan pergaulannya. Sebab masyarakat kita biasanya menganggap bahwa pertunangan yang telah terjadi antara sepasang calon pengantin sudah setengah dari menikah. Sehingga seakan ada hukum tidak tertulis bahwa yang sudah bertunangan itu boleh berduaan, berkhalwat berduaan, naik motor berboncengan, makan bersama, jalan-jalan, nonton dan bahkan sampai menginap. Sedangkan khitbah itu sendiri adalah ajuan lamaran dari pihak calon suami kepada wali calon istri yang intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab iya atau tidak. Bila telah dijawab ia, maka jadilah wanita tersebut sebagai 'makhthubah', atau wanita yang telah resmi dilamar. Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunagan atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, "Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus bertanggung-jawab." Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara pertunangan, acara besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya diluar Islam lainnya.Dan bagaimana hukum bertukar cincin saat bertunangan?
Seperti cincin biasa, hanya saja diiringi suatu kepercayaan sebagaimana diyakini oleh sebagian orang, dengan menuliskan namanya di cincin yang akan diberikan kepada tunangan wanitanya, sedangkan yang wanita menuliskan namanya di cincin yang akan diberikan kepada lelaki yang akan melamarnya, dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mempererat tali ikatan antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, hukum memakai cincin tunangan adalah haram, karena berhubungan dengan keyakinan yang tidak ada dasarnya. Juga tidak diperbolehkan bagi lelaki untuk memakaikan cincin tersebut untuk tunangannya, karena belum menjadi istrinya, dan dinyatakan sah menjadi istrinya setelah akad nikah. [Fatawa Lil Fatayat Faqoth, hal 47] Dalam acara seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat, pembicaraan lewat telefon ataupun saling bertemu, menghalalkan panggilan mesra seperti 'SAYANG','CINTA','ISTRIKU','SUAMIKU', Dsb yang sepantasnya diucapkan kepada pasangan halalnya dan hal ini diperbolehkan karena mereka telah bertunangan. Itulah adalah sebuah kesalahan besar dan mengakibatkan dosa. Dalam Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun fisik adalah melalui pernikahan.
Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya. Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja. Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka boleh-boleh saja ukhti membatalkan pertunangan tersebut, bila di tengah perjalanan ukhti menganggap tidak ada kecocokan di antara kalian berdua. Karena kalian berdua memang tidak berada dalam ikatan apa-apa, hanya ada dalam lingkaran “rencana”. Akan tetapi, bila rencana itu dahulu dibicarakan antara orang tua, maka saat membatalkan, demi hukum kemaslahatan, sebaiknya ukhti juga melibatkan orang tua untuk menyampaikan niat membatalkan tersebut. Karena bila tidak, dalam kehidupan rumah tangga pun konflik bisa terjadi, tak boleh menjadi alasan untuk mudah meminta cerai. Itu harus dicermati.
Selanjutnya, pada kebiasaan pertunangan yang ada di
masa modern ini –beda dengan perjodohan di masa lampau– banyak orang
beranggapan bahwa pertunangan itu sudah menjadi “semi pernikahan”, di mana
karena sudah bertunangan maka kedua calon pasangan itu boleh bepergian berdua
ke mana-mana tanpa disertai oleh mahram-nya, berduaan, berpacaran, saling
berpegangan, menjalin keakraban sedemikian rupa, saling bertemu atau ketemuan
dan lain sebagainya. Hal itu jelas berlawanan dengan aturan dalam Islam. Pria
dan wanita yang bertunangan belumlah halal untuk saling bersentuhan, bepergian tanpa
mahram, saling berjumpa atau berdua-duaan di satu tempat. Keduanya masih
dihitung sebagai orang lain. Sama dengan orang yang mengatakan, “Saya punya
keinginan untuk membeli mobil Anda,” maka itu bukanlah transaksi, meskipun si
pemilik mobil juga punya keinginan menjual mobilnya. Sehingga mobil itu belum
halal baginya. Soal hubungan pria wanita dalam Islam, jelas tak dapat
diserupakan dengan mobil dan calon pembelinya.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.
Kesimpulannya, saudari boleh saja memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Namun, karena semua itu dilakukan secara musyawarah, lakukanlah pembatalan itu dengan musyawarah. Bicarakan apa yang menjadi keinginan saudari, mintalah pendapat calon suami, calon mertua dan juga kedua orang tua atau bahkan juga saudara-saudara yang ada. Setelah itu, tetapkanlah yang saudari anggap lebih baik bagi masa depan saudari, calon suami yang bisa membimbing saudari ke jalan Allah dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Bukan suami yang tidak bisa membimbingmu ke jalan Allah, dan bukan pula suami yang membuatmu jauh dari Allah dan menyimpang dari perintah Allah.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.
Kesimpulannya, saudari boleh saja memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Namun, karena semua itu dilakukan secara musyawarah, lakukanlah pembatalan itu dengan musyawarah. Bicarakan apa yang menjadi keinginan saudari, mintalah pendapat calon suami, calon mertua dan juga kedua orang tua atau bahkan juga saudara-saudara yang ada. Setelah itu, tetapkanlah yang saudari anggap lebih baik bagi masa depan saudari, calon suami yang bisa membimbing saudari ke jalan Allah dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Bukan suami yang tidak bisa membimbingmu ke jalan Allah, dan bukan pula suami yang membuatmu jauh dari Allah dan menyimpang dari perintah Allah.
terimkasih, sangat membantu atas penjelasannya.
BalasHapusiya sama-sama
BalasHapus